Friday, May 10, 2013

Nyanyian Sumbang

Ini seperti jalanan yang tak berujung. Senja telah datang dan mentari pun enggan berpancar. Bulan nan terang jadi saksi kunci. Aku bernyanyi untuk hidupku yang tak pernah jelas. Terkadang aku seakan lupa seperti apa langit pagi. Saat bintang bersembunyi dan malam bergulir, aku malah pulas di bawah bayang-bayang jembatan beton. Lagi-lagi, aku tak tahu hidupku ini mau kubawa kemana.     

       


                 “Senar yang aku petik, tak berbuah.

                 Lagu yang aku teriakkan, tak didengar.

                 Kantong bekas permen yang aku sodorkan, tak terisi.

                 Malam ini, aku tak beruntung.”




Ribuan kata coba melemahkanku setiap saat. Dinginnya angin malam menyerangku. Haruskah aku gentar dengar gelegar yang menyambar? Tanyakan semuanya pada bintang yang berkedip mengintip. Perjalananku ini penuh kerikil, tak peduli badanku menggigil. Perutku kadang dipenuhi jangkrik yang bernyanyi melilit. Tapi aku hanya berusaha, Tuhanlah yang tentukan. Dan aku selalu berdoa, biar Tuhan yang wujudkan. Aku percaya, Tuhan tidak pernah tidur, walaupun sepermili detik.




                “Aku tak ingin menyerah, hidup bukan untuk pasrah.

                Apa yang aku ingin kejar? Mimpiku sudah berpendar.

                Aku hanya ingin menjadi sederhana, bahagia.

                Asal jangan mengiba penuh pura.”

@Addie_Setiadi
Nyanyian Sumbang, April 2013 

Kerajaan Terselubung

Ini tentang yang terlihat dan tidak terlihat.

Apa yang bisa kita pahami dengan mata kita, masih dapat kita duga.

Namun, apa yang tersembunyi dalam bayang-bayang, bisa jadi pembunuh kita.

Banyak hal tersembunyi di bumi ini, tanah, batu, angin, air, api, semua punya rahasia.

Simbol yang tertera dalam kitab-kitab kuno menyimpan jutaan misteri.

Bintang yang bersinar di langit timur, berkedip memberi pertanda.

Wahyu yang turun jadi inspirasi, mimpi harus diwujud-nyatakan.

Tanah yang bergerak diam-diam bisa jadi kunci akan masa depan yang belum kita pernah bayangkan.

Kuil-kuil suci akan dihancurkan, digantikan dengan kuil yang baru.

Hukum yang tertulis sejak ribuan tahun akan dibakar, digantikan dengan hukum yang baru.

Imam yang memimpin ratusan abad akan digulingkan, digantikan dengan Imam yang maha baru, terang, dan penuh dengan kearifan.



Ini tentang sesuatu yang lebih besar, raksasa, dan maha agung.
Semua yang telah digariskan sebelumnya akan menjadi debu.
Nantinya, hanya akan ada dua pilihan.
Tunduk atau meringkuk dalam tanah.
Eksekusi telah dimulai.
Pertumpahan darah tidak dapat dielakkan.
Semua menjadi halal, yang penting misi terlaksana.
Bagi mereka –yang berkepentingan— dunia ini telah sekarat dan pembaharuan siap menanti.
Ini bukan sekedar wacana, tapi  sudah terencana.
Entah sejak kapan bermula, tapi yang pasti besarnya tak dapat kita kira.
Banyak fakta yang nyata, tapi kita tetap buta.
Ada makna dibalik kata-kata dan angka.
Apa yang kita baca, tak berarti apa-apa.
Ini seperti lapisan kulit yang tak terbatas.
Kita dapat mengupas kulit pertama, dan menemukan lapisan kedua, ketiga, sampai tak terhingga.
Namun hanya Master dan para jendralnya yang mengetahui kebenaran suci.



Ini tentang sebuah kekuatan super yang tak bisa diremehkan.
Lingkaran api yang transparan terus meluas.
Siap membakar mereka –yang tak mau percaya— yang suka mengganggu.
Doktrin lama –yang bersinggungan— akan diluluh-lantahkan.
Kelak, dunia ini akan terbelah dua.
Satu bagian akan diterangi cahaya baru, bagian lainnya akan banjir darah.
Kita semua akan menyaksikan suatu dunia yang baru.
Yang akan dipenuhi oleh mereka yang mengimani malaikat jatuh.
Yang dinanti akan tiba, Bintang Fajar, Raja Ular.
Semua akan menjadi jelas pada akhirnya, walaupun tetap samar-samar.
Lantas, ada dimanakah kita?
Ini perang yang tak terlihat.
Entah apa yang akan terjadi pada hari esok.
Ini perang yang direncanakan oleh mereka.
Kubu mana yang harus kita pilih, jika opsi yang ada, hanyalah..


Berdiri bersama mereka atau MATI..


 @Addie_Setiadi
Kelompok Rahasia  – Misteri Dunia Baru, April 2013

Prosa Kebebasan

Aku tak pernah berniat menjadi putih, tapi aku juga tak ingin menjadi hitam. Aku suka biru, kadang hijau atau kuning, bisa jadi merah menyala. Tapi mengapa aku yang begitu penuh warna ini, justru dianggap tabu dalam area abu-abu.

     Dunia ini plural, tapi dilarang untuk asal. Asal ikuti keinginan, asal ingin bebas berekspresi. Kemana hak yang dijunjung tinggi di atas kepala? Sedangkan kita dijerat oleh tambang erat di leher. Tuhankah yang terlalu tegas tak memberi ampun atau manusiakah yang berhati batu?

M
erdeka sudah di tangan, tapi bagai kopi tanpa gula. Penjajah mungkin sudah angkat kaki, tapi banyak yang masih terjajah kepentingan kelompok atau bahkan terkekang penolakan. Kapan kita bisa berbicara lantang, kapan kita bisa menjadi lebih ekspresif dalam karya? Yang aku bisa jawab hanyalah, “Entahlah!”.
     Apa yang ada di hati kadang tak bisa terumbar, kalau masih banyak yang berpikir seperti ular. Apa yang ingin mereka capai? Adakah diantara mereka yang masih bisa dibilang manusia, jika kelakuannya seperti sang pencabut kebebasan.

Hidup ini milik siapa? Kenapa kita masih berada dalam bayang-bayang Diktator? Tapi yang lebih parah, jika kita hidup dalam kepala berhantu dan hati yang membeku. Mana semangat yang berkobar-kobar itu, tidak ada. Yang ada hanyalah ketakutan. Kita bisa maju, serang dan taklukkan. Jika kita mau! Mau tidak cukup, kalau tidak ada kesempatan untuk nyatakan, “Kami ingin merdeka!”.

     Tuduhan apalagi yang akan terlontar? Bagi mereka, apa yang kami rasakan hanyalah Euforia sesaat dan dosa yang sesat. Siapa menilai siapa? Sudah adilkah mereka yang berada di tampuk kekuasaan, duduk di atas singgasana emas bermahkotakan berlian? Sucikah mereka?

Kita tahu batasan antara ini dan itu, tapi kita selalu saja salah. Apa yang mereka imani selalu membawa kita pada fakta yang memojokkan. Lantas, berlakukah “Apa yang menjadi milikmu adalah milikmu, dan apa yang menjadi milikku adalah milikku.”? Sedangkan, apa yang mereka lakukan tak ubahnya seperti manusia yang sama-sama berdosa. Ya, kita hanya manusia. Sekali lagi, hanya manusia.
     Mungkin kita tidak bisa sebebas merpati, sekali gagak tetaplah gagak. Label yang ada tidak akan mudah menghilang begitu saja. Tapi, bukan berarti kita lalu menjadi kotor. Bulu gagak memang hitam, tapi yang ada di dalamnya, hatinya, belum tentu hitam pula. Ini sama seperti yang Ibuku bilang, “Kadang, dari penampilan masakan yang biasa saja, rasanya bisa jadi malah yang nomor satu di kelasnya.”.

Kami nyaman dengan dunia kecil kami, tapi sayang terlalu banyak alien yang mengganggu kehidupan kami. Beruang yang wilayahnya dibongkar paksa penebang liar, pada akhirnya akan marah dan menyerang kembali, menagih apa yang memang sudah seharusnya menjadi miliknya, kehidupan bebasnya.
 

     Celotehan yang mereka anggap lucu, menjatuhkan mental saudara-saudara kami. Imbasnya, tiang gantungan di taman bermain, atau pisau yang berbekas, menggores nadi dari kanan ke kiri, atas ke bawah. Apa ini takdir yang pasti akan terjadi di antara kita? Kematian itu kepastian, tapi yang kita inginkan hanyalah menjadi bahagia sebelum mati.

Kita, manusia, tidak pernah meminta akan diskriminasi atau penolakan. Kita tidak meminta keabadian. Permintaan ini simpel, tidak serumit lirik lagu cadas. Kami ingin diakui sebagai manusia yang memiliki hak yang total tanpa ada makian yang berakibat fatal. Hargai kami, seperti setiap anak menghargai temannya, saudaranya, keluarganya, orang tuanya.
 

     Kita sama dari ujung kepala hingga ujung kaki. Jari tangan kami lima untuk dijabat. Bibir kita sama, jadi kita bisa saling tersenyum. Jangan lagi pandang kami dengan mata satumu. Semua yang ada dalam diri kita sama, sama-sama mengharapkan kebaikan, kasih sayang dan rasa hormat. Manusia satu dan yang lainnya sama. Semua setara. Tuhan pun mengakui hal itu.


 @Addie_Setiadi

Prosa Kebebasan – Kami (Juga) Manusia, April 2013

Thursday, May 9, 2013

Welcoming Words!

Hi everyone, please enjoy the show. 
I always try to serve you with the best drama of my life, your life, and our lives. 
Are you the one who share the same feelings? 
Well, it may be your story, or it may be not.

For now, I present you.. 

"Earth Circus" 

- Earth is our stage, and life is a drama that we play -

Addie & Valent
 May, 2013